…Kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang
dibunuh di tahun 1965.
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg.
di sisi Benteng Vriedenburg.
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu,
Mataram…
Ingatan-ingatan pun
bepercikan
–sekilas terang kemudian hilang– seakan pijar
di kedai tukang las.
–sekilas terang kemudian hilang– seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan
kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya.
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
oleh belerang,
kepundan seperti
sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi.
kembali oleh Merapi.
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “trakhoma?”)
membutakan kita.
(mungkin juga, “trakhoma?”)
membutakan kita.
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
#Goenawan Mohamad
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
#Goenawan Mohamad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar