#Di kutip dari buku Avadhutika Anandamitra Acarya
Untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang
spiritual, maka para Guru Yoga sejak berabad-abad lamanya telah membedakan
empat tingkat kemajuan, yaitu :
Pertama
Disebut tahap kesulitan, yaitu ketika seseorang itu harus
berusaha keras menenteramkan dan mengendalikan gelombang pikirannya yang
bergolak dan bercerai-berai. Pada tingkat inipun banyak yang tidak sabar, lalu
meninggalkan latihan-latihan spiritualnya.
Kedua
Tahap pencapaian, yaitu ketika pikiran sudah dapat
dipusatkan, dan mengalami tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Orang yang
sempat menikmati kebahagiaan ini, walau hanya sekejap, menyatakan bahwa itulah
pengalaman kehidupan yang tertinggi nilainya, karena itu semua energi yang
dimiliki dicurahkan untuk bisa tetap menyatu dalam keadaan berbahagia itu.
Ketiga
Pemusatan pikirannya yang sangat teratur dan kuat, semua
getaran dan energi pikiran menjadi terpadu selaras, dan di sini berkembang
daya-daya psikis. Tahap ini dikatakan sebagai tahap yang sangat berbahaya,
karena godaan dan rintangan telah sering terjadi, bahkan yogi-yogi besar pun
sering tergelincir dan meninggalkan jalan kesucian serta kebenaran. Apabila
energi psikis terlalu cepat digunakan untuk kepentingan dunia luar, maka ia
akan ’terjatuh’ dan tidak pernah akan mencapai kesempurnaan. Ibarat memompa air
ke tingkat paling atas bangunan bertingkat, tetapi seluruh pipa banyak yang
bocor, maka air yang dipompa tidak akan pernah mencapai tingkat paling atas
tersebut.
Maharesi Ramakrisna pada suatu saat menawarkan kepada murid
yang dikasihi, Vivekananda, ”Setelah menempuh disiplin spiritual sangat ketat,
aku ingin menurunkan suatu kekuatan kepadamu untuk dapat dipergunakan bilamana
perlu. Apa pendapatmu?’
Sesaat, Vivekananda termenung, kemudian bertanya, ”Guru,
apakah kekuatan itu dapat menolong saya di dalam mencapai Kesadaran tertinggi?”
”Tidak”,jawab Gurunya.
Vivekananda
menjawab, ”Kalau begitu, saya tidak menginginkannya. Pertama, biarlah saya menyadari
Tuhan, setelah itu baru akan saya putuskan apakah kemampuan khusus tersebut
perlu atau tidak. Apabila
saya menerima kemampuan itu sekarang, saya khawatirakan melupakan cita-cita
semula. Apabila kemampuan itu dipergunakan untuk kepentingan pribadi, boleh
jadi akan menghancurkan diri saya sendiri. Karena itu, Guru, simpan sajalah
kekuatan tersebut”.
Orang yang
menjaga pikirannya agar tidak diselewengkan oleh daya-daya psikis, tetapi
menyimpan dan menyalurkan seluruh energi yang dimiliki untuk menunjang
kerinduannya kepada Dia Yang Maha Tinggi, adalah seperti seorang anak yang
menangis minta digendong oleh ibunya. Tetapi si ibu, mengalihkan perhatian
anaknya dengan memberikan mainan-mainan. Anak itu tidak puas dan melemparkan
mainan itu, seraya berteriak tetap menginginkan ibunya, maka si ibu akan datang
menggendong anaknya. Keinginan
spiritual hendaknya seperti itu. Orang harus menjerit meratap menginginkan Yang
Tertinggi. Apabila memang sesungguhnya keinginannya itu, pasti ia akan mencapai
cita-citanya.
Keempat
Perasaan
berbahagia luar biasa dan tidak terbendung menyerbu dan memancar di setiap sel
pribadinya. Di sini, mereka menyadari bahwa dibandingkan dengan kebahagiaan
penunggalan dengan Yang Maha Luhur, maka kegembiraan memiliki kemampuan psikis
sebenarnyalah tidak bernilai sama sekali.