Matrix

Matrix

Sabtu, 05 Juli 2014

Empat Tingkatan Meditasi

#Di kutip dari buku Avadhutika Anandamitra Acarya

Untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam bidang spiritual, maka para Guru Yoga sejak berabad-abad lamanya telah membedakan empat tingkat kemajuan, yaitu :

Pertama
Disebut tahap kesulitan, yaitu ketika seseorang itu harus berusaha keras menenteramkan dan mengendalikan gelombang pikirannya yang bergolak dan bercerai-berai. Pada tingkat inipun banyak yang tidak sabar, lalu meninggalkan latihan-latihan spiritualnya.

Kedua
Tahap pencapaian, yaitu ketika pikiran sudah dapat dipusatkan, dan mengalami tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Orang yang sempat menikmati kebahagiaan ini, walau hanya sekejap, menyatakan bahwa itulah pengalaman kehidupan yang tertinggi nilainya, karena itu semua energi yang dimiliki dicurahkan untuk bisa tetap menyatu dalam keadaan berbahagia itu.

Ketiga
Pemusatan pikirannya yang sangat teratur dan kuat, semua getaran dan energi pikiran menjadi terpadu selaras, dan di sini berkembang daya-daya psikis. Tahap ini dikatakan sebagai tahap yang sangat berbahaya, karena godaan dan rintangan telah sering terjadi, bahkan yogi-yogi besar pun sering tergelincir dan meninggalkan jalan kesucian serta kebenaran. Apabila energi psikis terlalu cepat digunakan untuk kepentingan dunia luar, maka ia akan ’terjatuh’ dan tidak pernah akan mencapai kesempurnaan. Ibarat memompa air ke tingkat paling atas bangunan bertingkat, tetapi seluruh pipa banyak yang bocor, maka air yang dipompa tidak akan pernah mencapai tingkat paling atas tersebut.
Maharesi Ramakrisna pada suatu saat menawarkan kepada murid yang dikasihi, Vivekananda, ”Setelah menempuh disiplin spiritual sangat ketat, aku ingin menurunkan suatu kekuatan kepadamu untuk dapat dipergunakan bilamana perlu. Apa pendapatmu?’

Sesaat, Vivekananda termenung, kemudian bertanya, ”Guru, apakah kekuatan itu dapat menolong saya di dalam mencapai Kesadaran tertinggi?”
”Tidak”,jawab Gurunya.

Vivekananda menjawab, ”Kalau begitu, saya tidak menginginkannya. Pertama, biarlah saya menyadari Tuhan, setelah itu baru akan saya putuskan apakah kemampuan khusus tersebut perlu atau tidak. Apabila saya menerima kemampuan itu sekarang, saya khawatirakan melupakan cita-cita semula. Apabila kemampuan itu dipergunakan untuk kepentingan pribadi, boleh jadi akan menghancurkan diri saya sendiri. Karena itu, Guru, simpan sajalah kekuatan tersebut”.

Orang yang menjaga pikirannya agar tidak diselewengkan oleh daya-daya psikis, tetapi menyimpan dan menyalurkan seluruh energi yang dimiliki untuk menunjang kerinduannya kepada Dia Yang Maha Tinggi, adalah seperti seorang anak yang menangis minta digendong oleh ibunya. Tetapi si ibu, mengalihkan perhatian anaknya dengan memberikan mainan-mainan. Anak itu tidak puas dan melemparkan mainan itu, seraya berteriak tetap menginginkan ibunya, maka si ibu akan datang menggendong anaknya. Keinginan spiritual hendaknya seperti itu. Orang harus menjerit meratap menginginkan Yang Tertinggi. Apabila memang sesungguhnya keinginannya itu, pasti ia akan mencapai cita-citanya.

Keempat

Perasaan berbahagia luar biasa dan tidak terbendung menyerbu dan memancar di setiap sel pribadinya. Di sini, mereka menyadari bahwa dibandingkan dengan kebahagiaan penunggalan dengan Yang Maha Luhur, maka kegembiraan memiliki kemampuan psikis sebenarnyalah tidak bernilai sama sekali. 

Selasa, 01 Juli 2014

Di Malioboro

…Kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang
dibunuh di tahun 1965.

Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg.

Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.

Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.

Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam

seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.

Mataram, katamu, Mataram…

Ingatan-ingatan pun bepercikan
–sekilas terang kemudian hilang– seakan pijar
di kedai tukang las.

Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.

Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya.

Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,

kepundan seperti sebuah radang,

dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi.

Trauma, kau bilang
(mungkin juga, “trakhoma?”)
membutakan kita.

Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.

Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
#Goenawan Mohamad